Oleh: Prof. Muhlisin ( Guru Besar FTIK UIN KH Abdurrahman Wahid Pekalongan)
Segala puji bagi Allah ’Azza Wajalla yang telah memfasilitasi segala bentuk kenikmatan, kesehatan, keimanan, keislaman dan berbagai macam iman kesempatan untuk menjalani ibadah di bulan suci Ramadhan 1446 H. Salam dan sahalat senantiasa dilimpahkan kepada Nabi dan Rasul terakhir, Muhammad Shallallahu ’alaihi wasallam beserta keluarga, sahabat, tabi’in, tabi’ittabi’in, dan seluruh pengikutnya yang senantiasa istiqamah dalam menjalankan ajaran Islam.
Momentum Ramadhan merupakan bulan spesial, di mana setiap amalan kebaikan senantiasa dilipatgandakan pahalanya oleh Allah. Salah satu ibadah utama dan menjadi salah satu rukun islam, yaitu shaum / puasa, yang dalam praktiknnya bukan hanya menahan dari konsumsi segala macam makanan, minuman dan aneka bentuk syahwat di siang hari, melainkan juga menahan segala macam yang berbasis hawa nafsu dan menjaga hati dari niat yang tidak lurus. Keikhlasan dalam berpuasa menjadi kunci utama diterimanya ibadah ini di sisi Allah. Sebagaimana firman-Nya dalam hadits qudsi:
"Setiap amal anak Adam adalah untuknya kecuali puasa. Sesungguhnya puasa itu untuk-Ku dan Aku yang akan membalasnya." (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadits ini menunjukkan bahwa puasa memiliki keistimewaan di hadapan Allah, dikarenakan ibadah tersebut merupakan bentuk kepatuhan yang hanya diketahui oleh Allah dan pelakunya. Oleh sebab itu, menjaga niat agar tetap ikhlas dalam berpuasa sangatlah penting agar ibadah ini benar-benar bernilai di sisi Allah.
Dalam tausiyah ini, kita akan membahas bagaimana mempertahankan keikhlasan dalam berpuasa, menjaga niat agar tetap murni. Sehingga puasa yang dilakukan harus didasari oleh keikhlasan, bukan sekadar rutinitas atau mencari pujian dari manusia. Semoga dengan memahami hal ini, kita semakin bersemangat untuk menjalani puasa dengan penuh kesadaran dan ketakwaan. Keikhlasan dalam berpuasa berarti menjalankan ibadah ini dengan niat yang tulus hanya karena Allah. Allah telah menegaskan secara jelas:
"Dan tidaklah mereka diperintahkan kecuali agar mereka menyembah Allah dengan ikhlas dalam menjalankan agama dengan lurus…" (QS. Al-Bayyinah: 5)
Keikhlasan adalah syarat utama diterimanya suatu amal ibadah. Jika seseorang berpuasa hanya karena kebiasaan atau ingin dipuji, maka nilai ibadahnya berkurang di sisi Allah. Rasulullah telah memberikan panduan pada kita semua sebagai berikut:
"Sesungguhnya amal perbuatan itu tergantung pada niatnya, dan setiap orang akan mendapatkan sesuai dengan apa yang ia niatkan." (HR. Bukhari dan Muslim)
Narasi dalam teks hadits tersebut menegaskan kedudukan niat sebagai fondasi utama dalam ibadah. Oleh karena itu, setiap Muslim harus senantiasa memastikan bahwa puasanya diamalkan dengan niatan yang benar dan ikhlas hanya karena Allah Subhanahu Wata’ala. Niat merupakan variabel sangat penting dalam ibadah puasa. Allah hanya menerima amal yang dilakukan dengan niat yang murni.
Keikhlasan dalam berpuasa akan mendatangkan banyak keutamaan, di antaranya:
- Mendapatkan ampunan dosa. Rasulullah telah menegaskan: "Barang siapa berpuasa di bulan Ramadhan dengan iman dan mengharap pahala dari Allah, maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu." (HR. Bukhari dan Muslim). Pesan dalam teks Hadits ini menegaskan bahwa ibadah shaum puasa dilakukan dengan penuh keimanan dan niatan yang ikhlas akan menjadi wahilah penghapus beragam dosa kita yang telah lalu.
- Dilipatgandakannya pahala. Allah memeberikan reward berupa pahala secara signifikan bagi mereka yang berpuasa secara ikhlas semata-mata lillahi ta’ala.. Dalam sebuah hadits disebutkan: "Setiap amal kebaikan anak Adam akan dilipatgandakan sepuluh hingga tujuh ratus kali lipat. Allah berfirman: ‘Kecuali puasa, sesungguhnya puasa itu untuk-Ku dan Aku yang akan membalasnya." (HR. Muslim).
- Dijauhkan dari siksaan panasnya api neraka. Nabi Muhammad telah menegaskan bahwa : "Puasa adalah perisai yang melindungi seseorang dari api neraka." (HR. Ahmad dan Al-Hakim).
Imam Al-Gazali mengajarkan bahwa niat dan keikhlasan adalah dua elemen yang tidak terpisahkan dalam ibadah. Niat yang benar akan membawa seseorang pada keikhlasan, sedangkan keikhlasan akan menjadikan ibadah lebih bermakna di sisi Allah. Keduanya merupakan dua aspek fundamental dalam menjalankan ibadah dan kehidupan sehari-hari. Menurutnya, niat adalah inti dari setiap perbuatan, sedangkan keikhlasan adalah penyempurnanya. Tanpa niat yang benar dan keikhlasan yang murni, amal ibadah seseorang dapat kehilangan nilai spiritualnya di hadapan Allah SWT. Imam Al-Gazali menjelaskan bahwa niat adalah dorongan batin yang mendasari setiap amal perbuatan manusia. Al-Gazali membagi niat menjadi dua bagian utama:
- Niat yang bersifat lahiriah, yaitu niat yang diucapkan dalam hati atau lisan sebelum melakukan suatu amal ibadah, seperti niat shalat atau puasa.
- Niat yang bersifat batiniah, yaitu dorongan hati yang muncul karena kesadaran akan tujuan dan makna dari suatu ibadah.
Keikhlasan, di dalamnya terdapat suatu amal peribadatan semata-mata hanya dipersempahkan pada Allah SWT tanpa berharap adanya pujian, penghormatan,maupun balasan duniawi. Imam Al-Gazali menyatakan bahwa keikhlasan adalah derajat tertinggi dalam ibadah yang sulit dicapai, karena manusia sering terjebak dalam riya’ (pamer) dan sum’ah (mencari popularitas).Menjaga keikhlasan dalam berpuasa bukanlah hal yang mudah, tetapi dapat dilakukan dengan beberapa cara berikut:
- Memperbarui Niat Setiap Hari. Niat sebaiknya senantiasa diperbarui agar tidak terkontaminasi oleh tujuan-tujuan duniawi.
- Menghindari Riya' dan Sum’ah. Jangan melakukan ibadah agar mendapat pujian dari manusia, karena hal ini bisa mengurangi keikhlasan.
- Banyak Berzikir dan Berdoa. Memperbanyak zikir dan doa agar Allah senantiasa menjaga niat kita tetap lurus.
- Mengutamakan Ibadah daripada Hal Duniawi. Jangan sampai kita lebih mementingkan kesenangan dunia daripada ibadah di bulan Ramadhan.
0 Comments