Sebagaimana tradisi yang berkembang di Indonesia, setiap ada even formal kenegaraan dalam semua level pemerintahan, para pejabat publik yang memberikan kata sambutan di depan audien yang beragam agamanya, memulainya dengan ucapan salam lintas agama. Narasi salamnya mencakup sapaan dari berbagai agama yang ada di Indonesia, seperti "Assalamu'alaikum wa-Rahmatullahi wa-Barakatuh" versi Islam, "Om Swastiastu" versi Hindu, "Namo Buddhaya" versi Buddha, "Salam Sejahtera" versi Kristen serta ”Salam Kebajikan” versi Konghucu, serta "Shalom" versi Yahudi. Tradisi yang telah berlangsung tersebut pada umumnya bertujuan untuk menunjukkan rasa hormat dan penghargaan terhadap penganut agama yang hadir pada even formal tertentu.
Eksistensi salam lintas agama tersebut mulai terusik dan menjadi diskusi publik pasca hasil forum Ijtima Ulama Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) di Bangka Belitung, 30 Mei 2024, yang memfatwakan bahwa mengucapkan salam lintas agama bukan implementasi dari toleransi. Oleh MUI, pengucapan salam merupakan doa yang bersifat 'ubudiah sehingga tidak boleh dicampuradukkan dengan ucapan salam dari agama lain. Fatwa MUI tentang larangan salam lintas agama didasarkan pada pertimbangan aqidah dan kekhawatiran terhadap sinkretisme. MUI tetap mendorong umat Islam untuk menjaga toleransi dan kerukunan, namun dengan cara yang tidak mengkompromikan keyakinan agama mereka.
Fatwa MUI tersebut menimbulkan reaksi publik, karena menimbulkan kontroversi di masyarakat dengan mengkritsal pada 2 kubu, ada yang pro dan ada yang kontra. Kedua kubu tentu punya dalil dan arguementasi yang berbeda dan cenderung saling memperkuat pendapatnya masing-masing dengan dominasi ego yang menonjol. Menurut penulis, mengangkat tentang salam lintas agama sebagai bahan fatwa merupakan langkah yang kurang produktif di tengah keragaman agama di Indonesia, yang hingga saat ini telah terbukti berdampingan secara harmonis. Kerukunan antar dan intern umat beragama yang sudah membudaya sejak pra-kemerdekaan Indonesia mulai terusik hanya gegara fatwa tersebut. Sudah saatnya MUI menyiapkan fatwa-fatwa yang bertemakan persoalan bangsa yang lebih strategis dan menyentuh persoalan publik, seperti Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) yang masih mengakar di tengah-tengah Masyarakat. Ketimbang memfatwakan tema-tema yang telah mapan dan berkembang positif di masyarakat.
Dalam perspektif Wawasan Nusantara, Indonesia dikenal sebagai negara dengan keanekaragaman suku, agama, ras dan antar golongan. Melalui Wawasan Nusantara kita memiliki cara pandang dan sikap berbangsa mengenai diri dan lingkungan, berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 dengan memperhatikan semua potensi yang ada di Indonesia. Konsep ini mengedepankan persatuan dan persatuan sebagai upaya mewujudkan hamonisasi dalam berbangsa dan bernegara. Sebagai potensi besar, berwawasan Nusantara juga memiliki tantangan dan peluang, utamanya dalam menjaga kerukunan antarumat beragama. Kedudukan agama dalam Wawasan Nusantara adalah sangat sentral dan strategis. Agama memberikan landasan moral dan etis, mendukung persatuan dan kesatuan, serta berperan dalam menjaga stabilitas nasional dan mendorong Pembangunan. Dengan mengakui dan menghormati peran agama, kita dapat mewujudkan cita-cita bangsa yang hidup harmonis dalam kebhinnekaan
Salah satu cara yang paling ringan untuk menghormati dan menjunjung kerukunan antar umat beragama, dengan menerapkan salam lintas agama dalam forum kenegaraan. Bagaimana praktik salam lintas agama agar selaras dengan konsep Wawasan Nusantara? Prinsip, penyampaian salam lintas agama tidak diterapkan begitu saja, namun memperhatikan kondisinya. Apabila kondisi audiens bermacam-macam agamanya, maka salam lintas agama dapat dipraktekkan, dengan memperhatikan jenis agama yang diikutinya. Apabila dalam forum tersebut dihadiri oleh masyarakat dari 3 agama, maka dapat menggunakan salam dari 3 agama. Sebaliknya, apabila audiennya homogen satu agama, misalnya Islam, maka cukup menggunakan satu salam versi agama Islam. Dengan mengucapkan salam lintas agama, seseorang memiliki niat baik, menunjukkan sikap penghargaan terhadap agama lain, yang dapat meningkatkan rasa saling menghormati dan mengurangi prasangka buruk antar umat beragama. Meskipun terkesan hanya penghormatan pada aspek toleransi permukaan saja (baca: Billisan) salam lintas agama searah dengan semangat Wawasan Nusantara, yaitu memupuk persatuan dan kesatuan dalam kerangka Bhinneka Tunggal Ika (berbeda-beda tetapi tetap satu). Dengan demikian, salam lintas agama dapat menjadi salah satu implementasi praktis dari Wawasan Nusantara dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu, Salam lintas agama dan Wawasan Nusantara memiliki tujuan yang saling melengkapi dalam memperkuat persatuan dan toleransi di Indonesia. Menerapkan salam lintas agama dalam kehidupan sehari-hari dapat menjadi salah satu cara nyata untuk menghidupkan nilai-nilai Wawasan Nusantara, sekaligus menciptakan masyarakat yang lebih harmonis dan inklusif. Salam lintas agama juga dapat mengurangi prasangka dan stereotip negatif yang sering menjadi sumber konflik antar agama. Dengan saling memahami dan menghargai, potensi ketegangan dapat diminimalkan, sesuai dengan tujuan Wawasan Nusantara untuk menciptakan masyarakat yang damai dan harmonis. Dengan demikian Salam lintas agama adalah manifestasi nyata dari Wawasan Nusantara, yang menekankan pentingnya persatuan dan kesatuan dalam keberagaman. Ini adalah langkah kecil namun signifikan dalam membangun masyarakat yang lebih akomodatif terhadap ragam kepercayaan, sejalan dengan nilai-nilai yang diusung oleh Wawasan Nusantara.[]
0 Comments