Berhaji Taat Regulasi

 


Beberapa tahun terakhir, jumlah kasus terkait keberangkatan haji tanpa visa resmi oleh masyarakat muslim Indonesia selalu ada dan menghiasi pemberitaan nasional dan internasional. Hampir setiap tahunnya, kasus tersebut berulang dan seolah menjadi kebiasaan buruk sebagian oknum muslim Indonesia yang mengedepankan nafsu daripada akal sehat. Terkini, Harian Suara Merdeka online, edisi 31 Mei 2024 melansir terdapat 24 warga negara Indonesia yang diamankan aparat Arab Saudi. Tidak hanya sekali itu, Suara Merdeka edisi 3 Juni 2024 juga menginformasikan sebanyak 3 kali Pemerintah Saudi telah mengamankan WNI dalam kasus serupa. Kesemuanya berpeluang dideportasi dan diancam berupa larangan masuk Arab Saudi dalam waktu 10 tahun. Sanksi tersebut dijatuhkan karena mereka hendak berhaji tanpa memiliki visa resmi haji.
Praktik haji tanpa visa resmi atau haji ilegal sangat mempengaruhi martabat bangsa Indonesia dari beberapa aspek. Jamaah yang berangkat tanpa jalur resmi mungkin tidak mendapatkan perlindungan dan layanan yang memadai, sehingga menimbulkan risiko bagi keselamatan mereka. Jika terjadi insiden atau masalah, hal ini tentu mencoreng nama baik Indonesia di mata dunia internasional serta dapat menurunkan citra negara dalam hal kemampuan mengelola warganya yang hendak beribadah haji. Dalam konteks hubungan internasional, haji ilegal juga dapat merusak hubungan diplomatik antara Indonesia dan Arab Saudi jika dianggap sebagai pelanggaran terhadap peraturan yang telah disepakati. Dalam tinjauan ekonomi, Jamaah yang berangkat melalui jalur ilegal tentu berpotensi merugikan ekonomi nasional karena tidak melalui proses resmi yang dikelola oleh pemerintah. Hal ini juga menciptakan kesenjangan sosial jika hanya orang-orang tertentu yang mampu memanfaatkan jalur ilegal tersebut. Oleh karena itu praktik haji ilegal tidak hanya melibatkan isu individual tetapi juga mencerminkan kemampuan sebuah bangsa dalam mengelola dan melindungi warganya, serta menjaga hubungan baik dengan negara lain.
Kasus-kasus ini menunjukkan pentingnya calon jamaah haji untuk mematuhi regulasi yang ditetapkan oleh pemerintah Arab Saudi agar menghindari konsekuensi hukum yang serius bagi pelakunya. Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Agama selalu mengingatkan masyarakat agar tidak tergiur tawaran beribadah haji dengan visa yang tidak resmi. Kasus tersebut tidak hanya memalukan keluarga, komunitas namun juga dapat berimplikasi negatif atas bayang-bayang buruknya manajemen haji di tanah air. Selain menjadi problem sosial keagamaan, praktik haji yang menggunakan visa non haji juga sangat merugikan dari berbagai aspek, termasuk dalam perspektif fiqih. Tak tanggung-tanggung, pemerintah Arab Saudi menerbitkan fatwa secara tegas bahwa jamaah haji yang tidak taat prosedur dianggap tidak syah ibadahnya. Keputusan Syuriyah PBNU menegaskan bahwa berhaji pakai visa non haji dianggap cacat dan yang bersangkutan berdosa karena termasuk tidak mentaati perintah Ulil Amri. Praktik haji yang tidak taat prosedur juga berpotensi membawa madlarat bagi dirinya dan jamaah lain. Oleh PBNU, berhaji ilegal dapat dikategorikan Ghashab karena telah merampas hak  (kenyamanan) jamaah haji yang kuotanya terdistribusi secara resmi ke berbagai negara. Kondisi ini borpotensi mempersempit ruang gerak jamaah haji resmi sehingga berimplikasi pada layanan yang kurang maksimal dan terganggu. Dengan demikian menggunakan visa non-haji atau perilaku sejenis, tidak hanya melanggar hukum tetapi juga dapat merusak niat suci kita dalam beribadah haji.
Menggunakan visa haji resmi adalah salah satu bentuk ketaatan jamaah terhadap aturan yang berlaku. Allah SWT berfirman dalam Surat An-Nisa ayat 59, artinya: Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nabi Muhammad) serta ulil amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunahnya) jika kamu beriman kepada Allah dan hari Akhir. Yang demikian itu lebih baik (bagimu) dan lebih bagus akibatnya (di dunia dan di akhirat). Dengan mematuhi aturan, jamaah telah menunjukkan iktikad baik, berupa kepatuhan dan ketundukan kepada Allah, serta menjadikan seluruh ibadah haji dapat dilaksanakan secara khusyuk sehingga peribadatannya menjadi sah dan diterima di sisi-Nya. Ketaatan pada regulasi tentu akan berdampak positif bagi kelancaran dan keamanan ibadah haji.
Oleh karena itu, penting bagi masyarakat muslim untuk meningkatkan literasi mengenai prosedur dan regulasi haji. Edukasi dan informasi regulasi haji yang benar harus digalakkan secara massif oleh otoritas resmi, seperti Kementerian Agama dan lembaga penyelenggara haji yang resmi dan terpercaya, termasuk pemanfataan semua platfom media sosial secara terus menerus. Untuk menyasar masyarakat muslim yang belum familiar dengan budaya digital, Kementerian Agama dapat bermitra dan mengoptimalkan peran para penyuluh agama, tokoh agama, tokoh ormas keagamaan dan guru agama untuk meberikan literasi pada masyarakat tentang pentingnya mentatati regulasi dalam beribadah haji. Literasi dapat memanfaatkan forum pengajian pada majlis taklim dalam semua tingkatan yang menyasar masysrakat luas yang berminat mendaftar ibadah haji. Melalui pemahaman secara utuh atas regulasi haji, masyarakat dapat menghindari diri dari penipuan oleh oknum-oknum biro jasa/ travel yang merugikan. Oknum Biro travel seringnya beroperasi mencari mangsa dengan memanfaatkan celah ketidaktahuan masyarakat awam tentang berhaji yang sesuai regulasi. Melalui penguatan literasi berhaji, tentu dapat meminimalisir jatuhnya para korban pada siklus musim haji tahun berikutnya yang merugikan secara materi maupun non materi. Wallahu a’lam Bisshawab. (Tulisan ini telah dimuat pada Suara Merdeka Online pada Kamis, 13 Juni 2024 dengan judul Mari Berhaji dengan Taat Regulasi - Suara Merdeka)

 

Post a Comment

0 Comments